Pengadilan Pajak menolak permohonan banding PT CCI atas koreksi fiskal biaya promosi senilai Rp250,7 miliar. Putusan ini menegaskan bahwa pembebanan biaya harus memenuhi kriteria hubungan langsung sesuai Pasal 6 ayat (1) UU PPh dan prinsip matching cost against revenue, sekalipun dalam model bisnis rantai nilai terintegrasi.
Dalam sengketa untuk Tahun Pajak 2020, sebuah perusahaan multinasional terkemuka yang beroperasi di Indonesia, PT CCI, menghadapi koreksi signifikan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Koreksi tersebut berfokus pada biaya promosi yang telah dibebankan oleh PT CCI, yang dalam struktur bisnisnya berperan sebagai produsen bahan baku atau sari minuman (beverage base). DJP menilai biaya promosi tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto PT CCI.
Inti konflik sengketa ini terletak pada perbedaan fundamental dalam menafsirkan kelayakan pembebanan biaya. DJP berargumen bahwa biaya promosi tersebut digunakan untuk memasarkan produk minuman jadi yang siap dikonsumsi, yang notabene dijual oleh entitas afiliasi yang berbeda. Menurut DJP, tidak ada hubungan langsung antara promosi produk akhir dengan kegiatan PT CCI untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilannya dari penjualan bahan baku. Argumen ini diperkuat dengan fakta bahwa sebagian biaya promosi dialokasikan untuk merek yang bahan bakunya bahkan tidak diproduksi oleh PT CCI pada tahun tersebut.
Di sisi lain, PT CCI membangun dalilnya di atas fondasi realitas bisnis dan model rantai nilai yang terintegrasi. Perusahaan berpendapat bahwa penjualan bahan bakunya bergantung secara mutlak pada keberhasilan penjualan produk jadi di tingkat konsumen. Dengan demikian, kegiatan promosi produk jadi merupakan strategi yang esensial dan tidak terpisahkan dari upaya untuk mengamankan dan meningkatkan pendapatannya sendiri. Logika bisnis ini, menurut PT CCI, sudah cukup untuk memenuhi kriteria "hubungan langsung" yang disyaratkan oleh undang-undang.
Majelis Hakim, dalam resolusinya, memilih untuk mengadopsi pendekatan yuridis formal dan berpihak pada argumen DJP. Pertimbangan utama Majelis adalah pelanggaran terhadap prinsip fundamental akuntansi, yaitu matching cost against revenue (prinsip penandingan biaya dengan pendapatan). Majelis berpendapat bahwa biaya promosi untuk produk jadi seharusnya dibebankan oleh entitas yang memperoleh pendapatan dari penjualan produk jadi tersebut. Membebankan biaya tersebut kepada produsen bahan baku dianggap sebagai praktik yang tidak tepat dan mengaburkan profitabilitas masing-masing entitas.
Putusan ini memiliki dampak signifikan bagi perusahaan, terutama korporasi multinasional dengan struktur rantai pasok yang kompleks. Keputusan ini mengirimkan sinyal yang jelas bahwa argumen "substansi mengungguli bentuk" atau "realitas bisnis" memiliki batasan dan tidak dapat meniadakan kewajiban untuk mematuhi prinsip legal dan akuntansi yang ketat. Perusahaan dengan model serupa didorong untuk merestrukturisasi transaksi intra-grup mereka, misalnya melalui service agreement atau cost contribution arrangement, untuk memastikan bahwa biaya dibebankan pada entitas yang tepat sesuai dengan fungsi, aset, dan risiko yang ditanggungnya.
Kesimpulannya, kasus PT CCI ini menjadi preseden penting yang menegaskan supremasi prinsip matching cost against revenue dalam sengketa deductibility biaya di Indonesia. Putusan ini menggarisbawahi bahwa keterkaitan dalam satu ekosistem bisnis tidak secara otomatis membenarkan pergeseran biaya antar entitas. Setiap pembebanan biaya harus dapat dipertanggungjawabkan secara langsung terhadap pendapatan yang dihasilkan oleh entitas hukum yang sama.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini